MAGELANG – Di kalangan masyarakat Indonesia, biasanya para istri memanggil suaminya dengan panggilan ‘Mas, Kakak, Abang’ atau lainnya. Namun juga ada sebagian istri yang memanggil suaminya dengan nama aslinya. Misalnya, suaminya bernama Ahmad, istrinya memanggil Ahmad, bukan ‘Mas’ atau lainnya. Bagaimana hukum istri memanggil suaminya dengan nama aslinya, apakah dilarang dalam Islam?
Dalam Islam, kita dituntut untuk saling menghargai dan memuliakan antara satu dengan yang lain, terutama terhadap orang yang lebih tua, baik secara umur, kedudukan, dan ilmu. Oleh karena itu, kita sangat dianjurkan untuk memanggil saudara kita yang lebih tua dengan panggilan ‘Kakak’ atau lainnya, bukan nama aslinya.
Begitu juga dengan istri terhadap suaminya. Dalam Islam, seorang istri dimakruhkan memanggil suaminya dengan nama aslinya. Sebaliknya, dia sangat dianjurkan untuk memanggil suaminya dengan panggilan yang menunjukkan adanya adab dan kemuliaan. Misalnya, memanggil dengan panggilan ‘Mas, Kakak’ atau lainnya.
Menurut ulama Hanafiyah, seorang istri memanggil suaminya dengan nama aslinya hukumnya makruh. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;
وذكر الحنفية انه يكره ان يدعو الرجل اباه وان تدعو المرأة زوجها باسمه بل لا بد من لفظ يفيد التعظيم لمزيد حقهما على الولد والزوجة
Ulama Hanafiyah menyebutkan bahwa makruh seseorang memangil bapaknya atau istri memanggil suaminya dengan nama aslinya. Sebaliknya harus memanggil dengan panggilan yang menunjukkan pemuliaan karena keduanya memiliki hak yang lebih dibanding anak dan istri.
Disebutkan dalam beberapa kitab bahwa dahulu para istri sahabat Nabi Saw memanggil suaminya bukan dengan nama aslinya, melainkan dengan panggilan yang penuh adab dan kemuliaan. Misalnya, memanggil suaminya dengan panggilan ‘Sidi atau Tuan’.
Baca juga:
Kaum Sodom, Sejarah Terulang Kembali
|
Ini sebagaimana dilakukan oleh Ummu Al-Mahendra’ ketika memanggil atau menyebut nama suaminya, Abu Al-Mahendra’. Beliau memanggil atau menyebutnya dengan panggilan ‘Sayyidi atau Tuan’. Misalnya, ketika Ummu Al-Mahendra’ beliau menggunaka panggilan ‘Sayyidi’, bukan Abu Al-Mahendra. Ini bisa dilihat dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Thalhah bin Ubaidillah bin Kariz, dia berkata;
حَدَّثَتْنِي أُمُّ الدَّرْدَاءِ، قَالَتْ: حَدَّثَنِي سَيِّدِي أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ دَعَا لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلٍ
Nabi Saw bersabda; Barangsiapa yang mendoakan saudaranya tidak di hadapannya, maka malaikat petugas doa akan berkata; Amin, dan kamu juga akan mendapatkan hal yang sama.
✍ gus aji
hijrah pendosa
muhasabah diri
santren jiwa
Editor : Agung Lbs